Sekitar 30 menit, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menggulirkan
pemikiran sekaligus keresahannya yang ”menelanjangi” elite politik
dalam pidato kebudayaan berjudul "Mengembalikan Daulat Rakyat
Demokrasi Kita” di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM),
Sabtu (10/11/2012) malam. Tanpa kehadiran tokoh elite politik, acara
Hari Ulang Tahun Ke-44 TIM diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta
bekerja sama dengan Badan Pengelola Pusat Kesenian Jakarta TIM.
Mahfud
menyitir gagasan tentang demokrasi dari tokoh-tokoh bangsa, seperti
HOS Tjokroaminoto, Tan Malaka, Sjahrir, serta Presiden Soekarno dan
Wakil Presiden Mohammad Hatta. Demokrasi itu, meski kelihatan beragam,
jika dicermati, pada dasarnya menyimpulkan gagasan yang sama, yakni
demokrasi haruslah memperjuangkan keseimbangan pencapaian kebebasan,
kesetaraan, keadilan, dan persaudaraan dalam semangat permusyawaratan.
Dari
latar belakang historis itu, model demokrasi kita jelas berangkat dari
karakter luhur bangsa yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan dan
gotong royong.
”Celakanya lagi, sekarang banyak (elite politik)
yang saling memaki dan bertengkar di depan publik seakan-akan
memperjuangkan aspirasi politik rakyat, tetapi secara diam-diam
bersalaman di bawah meja atau di hotel mewah untuk merampok hak
rakyat,” ujar Mahfud disambut tepuk tangan hadirin.
Karena apes
Di
pemerintahan, kata Mahfud, oligarki melibatkan pemilik kekuasaan
politik yang disokong pemilik uang. Dalam banyak kasus perizinan usaha
pertambangan atau perkebunan di daerah, kebijakan kepala daerah sering
ditentukan bukan demi kesejahteraan rakyat, melainkan dibuat atas
kendali transaksional dengan ”pengusaha hitam”.
Beredar cerita,
seorang bupati tertangkap menerima suap dari pengusaha. ”Lalu,
bupati-bupati lain bercerita kepada saya dan mengatakan, ’Pak, itu
bukan karena pemberantasan korupsi, itu karena apes saja. Mengapa apes?
Karena semua sekarang melakukan (penyuapan). Hanya dia yang kebetulan
tertangkap’,” ujar Mahfud menceritakan omongan bupati yang tidak
disebutkan namanya.
"Demokrasi kita sedang becek digenangi korupsi karena selalu ada saja akal cerdik untuk menyimpangi aturan,” sebut Mahfud.
Rakyat
sendiri dilematis dalam berpolitik. ”Kalau memilih wakil rakyat, yang
muncul adalah buaya, tetapi kalau tidak memilih, yang muncul adalah
serigala. Sebab, pilihannya hanya buaya, serigala, atau ular berbisa,”
ujar Mahfud. (kompas)