Proses Hukum Terhadap Presiden dan Wapres Boediono Tak Bisa Nonaktif
JAKARTA - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Lukman Hakim Saifuddin menyatakan, seorang warga negara (WN) dalam posisi jadi presiden atau wakil presiden tidak dapat begitu saja diproses melalui jalur hukum pidana. Sebab, ada juga hukum tata negara yang harus diberlakukan ketika presiden atau wapres diduga terlibat perkara pidana.
"Terhadap presiden dan wakil presiden ada mekanisme khusus proses penyelesaian dugaan pelanggaran hukum pidana yang dilakukannya yakni hukum tata negara," kata Lukman Hakim Saifuddin, dalam diskusi Dialog Pilar Negara, bertema 'Century: Antara Hak Menyatakan Pendapat dan KPK' di gedung Nusantara IV, komplek Parlemen, Senayan Jakarta, Senin (26/11), kemarin. (Berita terkait halaman 18)
Proses hukum pidana terhadap presiden atau wapres, kata Lukman, baru bisa dilakukan setelah seseorang tidak lagi dalam jabatannya. Sebab jika proses hukum pidananya dipaksakan, lanjutnya, pasti bakal menimbulkan kekacauan.
"Apa jadinya bangsa ini kalau memiliki presiden atau wakil presiden yang masih berkuasa tapi dalam status tersangka yang ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Ini sangat mengusik rasa kenegaraan kita," ujar politisi PPP itu.
Terhadap wacana dilakukannya proses hukum tata negara dengan hukum pidana secara bersamaan, lanjut Lukman, justru dapat mengacaukan pelaksanaan dari hukum tata negara. "Kalau dilakukan prosesnya secara simultan, jelas akan mengganggu proses hukum tata negara. Misalnya, KPK menyatakan Wapres bersalah, sementara Mahkamah Konstitusi berpendapat tidak, ini akan mengacaukan keadaan," ungkap Lukman Hakim Saifuddin.
Ditambahkannya pula, Wapres Boediono tak bisa nonaktif jika nantinya KPK hendak memeriksanya. "Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat sementara MPR hanya melantik presiden dan wakil presiden terpilih. MPR bukan atasan presiden atau wakil presiden. Kalau presiden atau wakil presiden minta diberhentikan sementara, KPK mengajukan surat kemana, sebab atasan presiden itu hanya rakyat," tanya Lukman Hakim Saifuddin.
Karenanya Lukman menegaskan, pasal yang mengatur prihal kesamaan kedudukan di depan hukum konteksnya di luar presiden dan wakil presiden. "Penyelesaian dugaan pelanggaran hukum oleh presiden dan wakil presiden harus melalui hukum tata negara. Kesamaan kedudukan setiap warga negara di depan hukum menurut saya tidak berlaku bagi presiden dan wakil presiden," pungkasnya.
SBY BISA BERI ABOLISI
Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH-UI), Akhiar Salmi, mengingatkan bahwa bailout Bank Century terjadi pada saat Boediono masih menjadi Gubernur Bank Indonesia (BI). Namun Akhiar mengaku heran karena Boediono sudah disalahkan Meski belum ada putusan hukum yang menyatakannya bersalah.
Padahal, menurutnya, KPK baru memutuskan dua tersangka baru dalam dugaan korupsi pemberian bailou Century. "Tapi kenapa pasal 7B (UUD 1945) soal pemberhentian presiden dan wapres itu yang dibawa-bawa. Dalam kapasitas Wakil Presiden, hingga kini beliau belum punya kesalahan. Bailout Bank Century terjadi di saat Boediono jadi Gubernur Bank Indonesia," kata Akhiar di gedung DPR, Senayan Jakarta, Senin (26/11).
Akhiar justru memersoalkan pernyataan Wakil MPR Lukman Hakim Saifuddin yang menyebut penyelesaian proses hukum pidana terhadap Wapres harus melalui hukum tata negara. "Kita menyoal lagi, MPR dulunya melantik wakil presiden yang diduga bermasalah hukum. Inikan masalah baru lagi," ungkap dia.
Karenanya ia menyarankan agar ada undang-undang yang menyatakan presiden dan wakil presiden selama menjabat tidak boleh diproses secara hukum pidana. "Tapi ingat, pasal tersebut pasti akan digugat lagi di MK," kata Akhiar.
Dikatakannya pula, hukum harus diberlakukan sama pada setiap warga negara. "Soal rasa bernegara akan terusik ketika seorang Wapres terbukti bersalah saat menjadi Gubernur BI, Presiden bisa mengeluarkan Abolisi. Yang lebih penting proses hukum harus jalan," tegasnya. (jpnn)