Ilustrasi. reuters
JAKARTA -
Jumat 21 Juni 2013 sekira pukul 14.00 WIB, penyidik Tindak Pidana
Korupsi Badan Reserse Kriminal melakukan operasi tangkap tangan terhadap
perwira yang kedapatan membawa uang Rp200 juta di Gedung Utama Mabes
Polri.
Dua orang yang diduga bakal melakukan transaksi itu adalah Kompol JAP, personel Biro SDM Polda Metro Jaya dan AKBP ES personel Polda Metro Jaya. Keduanya diduga akan melakukan suap ke pejabat tinggi Polri guna mendapatkan jabatan tertentu. Kompol JAP inilah yang menjadi makelar dan akan mempertemukan AKBP ES dengan pejabat Polri lainnya untuk mutasi jabatan tertentu.
Anggota Komisi III DPR RI selaku mitra pengawasan Polri mengapresiasi adanya temuan ini. Mereka juga tidak menutup mata dengan adanya suap untuk kenaikan jabatan seperti ini. Anggota Komisi III Fraksi PPP Ahmad Yani bahkan menilai, hal itu sudah lumrah. Karena itu, Satuan Propam Mabes Polri harus bisa memberikan tindakan tegas untuk kasus seperti ini.
Berikut petikan wawancara Ahmad Yani dengan Okezone di Gedung DPR, Rabu (26/6/2013).
Apa tanggapan Abang tentang adanya temuan suap terkait dengan upaya kenaikan pangkat di tubuh polri?
Memang banyak laporan masalah promosi jabatan di lingkungan kepolisian, memang problem. Yang baru bisa di-clear-kan itu baru masalah penerimaan anggota, apakah Akpol atau Secaba, itu baru bisa clear karena menggunakan pihak ke tiga.
Yang menjadi problem adalah dalam rangka promosi jabatan tertentu. Kemarin saya tanyakan saat rapat dengan Polri. Ini orang sudah ikut pendidikan, syarat tersebut ternyata bangkunya panjang sepanjang zaman, tetapi ada orang yang tidak memenuhi syarat justru lolos karena faktor kedekatan. Nah faktor kedekatan itu kadang kala disebut makelar jabatan.
Ini memang ada tetapi tidak menyeluruh, misalnya ada 10 kota, itu ada 1 dan 2 orang. Nah, komitmen Kapolri dalam pertemuan kemarin yang akan dilakukan, karena ini kan hampir terjadi di Polda, kalau di Mabes kan bagus. Contoh, dulu orang untuk menjadi Kapolres ditentukan semata-mata dari Mabes, sebelum jaman Pak Timur (Kapolri Jenderal Timur Pradopo). Sekarang kan tidak bisa, sekarang itu lewat usulan Kapolda, baru Mabes memilih itu.
Tapi yang menjadi masalah itu ada di tingkat Polda, ada jabatan Kapolsek, dan itu yang kadang-kadang yang tidak ikut prosedur Kapolri. Itu yang kita persoalkan.
Mengingat kasus ini bukan hal yang baru, lalu bagaimana penyelesaian terbaik?
Beri sanksi yang tegas. Boleh saja NKK, nolong kawan-kawan, tetapi kawan-kawannya tentu harus yang memenuhi kualifikasi, real, bukan orang pendongkrakan.
Tapi nyatanya kasusnya dikembalikan, apa perlu ini diselesaikan di Mabes Polri?
Saya kira Propam Mabes Polri perlu turun. Kemarin kita juga minta Propam untuk turun dalam rangka banyak hal untuk penguatan ini. Karena salah satu prasyarat agar polisi menjadi baik di mata publik. Karena itu Propam harus diberikan kekuatan, temuan-temuan Propam tidak boleh juga nanti di veto juga otoritas tertentu. Temuan propam ini yang harus jadi sandaran kebijakan. Jadi saya sudah usulkan dalam rangka promosi, mutasi dan demosi itu harus melibatkan catatan dari propam.
Propam kan sekarang terlibat karena dia ikut rapat Wanjak. Cuma menurut saya keputusan Propam itu harus menjadikan syarat dan acuan untuk itu.
Kasus kemarin menyebutkan akan ada transaksi Rp200 juta untuk menjadi seorang direktur di Polda Jawa Tengah, Apakah Komisi III DPR punya temuan terkait harga untuk sebuah kenaikan pangkat?
Ini kan tidak jelas rumornya, baik yang melapor juga belum jelas. Karena ini belum jelas itu tugas Propam kan untuk memperjelas. Kan isu saja ada yang ngomong Rp200 juta, sekian juta, tetapi tidak ada pengakuan seperti itu. Soalnya kan yang mau dan yang menerima, ini kan persoalannya baik penyuap dan yang disuap kompak tidak mau berbicara.
Karena itu Propam harus segera mengusut, kan ada tindakan hukum, yang paling berwenang Propam.
Apa perlu KPK menelusuri masalah seperti ini, mengingat ini merupakan kasus suap dan melibatkan aparat pemerintahan?
Apa urusannya KPK? Semuanya saja nanti kalau begitu. Sudahlah, KPK engga usah diurusin yang kecil-kecil, yang besar saja.
Senada dengan Ahmad Yani, Anggota Komisi III Fraksi Golkar Bambang Soesatyo juga memiliki pemikiran yang sama. Dia menyebut, kasus suap kenaikan jabatan seperti ini tidak hanya ada ditubuh kepolisian saja. Bahkan, kata dia, hal seperti ini nyaris nyata dan kebanyakan hanya tutup mata menghadapinya. Berikut adalah kutipan tanya jawabnya.
Soal makelar jabatan bukan hal yang baru di kepolisian maupun di lembaga lain. Itu persoalan yang biasa dilakukan dan memang seakan-seakan kita tutup mata. Nah, Tindakan Bareskrim, Wakapolri, internal Polri menangkap calo-calo ini. Kita perlu apresiasi dan seharusnya diikuti lembaga lain, TNI ada, Kementerian ada, dan semua yang terkait dengan penerimaan lowongan pekerjaan, kenaikan pangkat, pasti selalu ada, tidak hanya di Kepolisian.
Nah sekarang kita apresiasi, polisi sudah mulai membersihkan diri sendiri dan harusnya orang-orang mendukung.
Kasus ini bahkan berhenti, dengan alasan belum ditemukan tindak pidananya, tanggapan Abang?
Paling tidak polisi sudah bergerak, mengungkap adanya hal-hal negatif di tubuh Polri, terutama yang berkaitan dengan penempatan jabatan, atau kenaikan pangkat.
Biasanya gini, suap suap itu kan saling ngasih. Bukan hanya naik pngkat, sekolah (polisi) pun ada upaya-upaya pelicin. Ini antara kepentingan orang butuh naik pangkat-butuh sekolah, dengan orang yang punya kewenangan untuk itu.
Ini masalahnya kan tetap ada, tapi kok tetap tutup mata, solusi yang baik harusnya bagaimana?
Justru ini bagus, ini harus jadi shock theraphy bahwa praktek seperti ini ada di tubuh mereka. Dan sekarang mereka mulai melakukan penindakan, harapan kita ke depan adalah praktek ini tidak lagi ditoleransi karena memperburuk kualitas SDM, institusi tersebut dengan menempatkan orang-orang tanpa berdasarkan kualifikasi, kemampuannya, tapi nilai suapnya.
Apa karena ini juga yang membuat polisi memiliki mental preman?
Bukan di polisi, semua institusi kan begitu, pakai ilmu kodok, nendang ke bawah nyunjung ke atas.
Apakah ada temuan dari Komisi III soal suap-menyuap untuk kenaikan pangkat di Kepolisian?
Kita hanya mendengar rumor, misalnya sekolah sekian juta, naik pangkat sekian juta, pindah daerah sekian juta, tapi itu hanya dan kita belum bisa dapat bukti kongkret hanya mendengar saja.
Tapi saya meyakini, informasi itu tidak hanya di polisi tapi di semua institusi. Di kelurahan saja, kalau mau jadi kepala bagian nyogok juga. Semua penyakit itu ada di kita, maka harus dimulai pemberantasannya.
Adapun anggota Komisi III Fraksi PKS Fahri Hamzah mendesak agar kasus suap seperti ini diusut hingga tuntas. Dia berharap, citra Polisi tidak rusak akibat adanya isu ini.
Jelas saja, itu tindakan siapa, apa, clear-kan. Jangan sampai publik ini menganggap polisi menyembunyikan sesuatu, dibikin gelap.
Tapi nyatanya fenomena itu ada kan bang?
Kalau ada, polisi yang harus tahu dan itu yang harus dikejar hingga tuntas. Nggak boleh kita biarkan praktek seperti itu.
Masalahnya kasus ini dikembalikan, karena tidak ada indikasi pidana?
Ya itulah, polisi harus bisa menjelaskan sejelas-sejalsnya apa yang terjadi.
Kalau Komisi III sendiri ada temuan soal ini?
Saya nggak tahu, tapi rumor itu harus dijelaskan Kapolri.
sumber.okezone
Dua orang yang diduga bakal melakukan transaksi itu adalah Kompol JAP, personel Biro SDM Polda Metro Jaya dan AKBP ES personel Polda Metro Jaya. Keduanya diduga akan melakukan suap ke pejabat tinggi Polri guna mendapatkan jabatan tertentu. Kompol JAP inilah yang menjadi makelar dan akan mempertemukan AKBP ES dengan pejabat Polri lainnya untuk mutasi jabatan tertentu.
Anggota Komisi III DPR RI selaku mitra pengawasan Polri mengapresiasi adanya temuan ini. Mereka juga tidak menutup mata dengan adanya suap untuk kenaikan jabatan seperti ini. Anggota Komisi III Fraksi PPP Ahmad Yani bahkan menilai, hal itu sudah lumrah. Karena itu, Satuan Propam Mabes Polri harus bisa memberikan tindakan tegas untuk kasus seperti ini.
Berikut petikan wawancara Ahmad Yani dengan Okezone di Gedung DPR, Rabu (26/6/2013).
Apa tanggapan Abang tentang adanya temuan suap terkait dengan upaya kenaikan pangkat di tubuh polri?
Memang banyak laporan masalah promosi jabatan di lingkungan kepolisian, memang problem. Yang baru bisa di-clear-kan itu baru masalah penerimaan anggota, apakah Akpol atau Secaba, itu baru bisa clear karena menggunakan pihak ke tiga.
Yang menjadi problem adalah dalam rangka promosi jabatan tertentu. Kemarin saya tanyakan saat rapat dengan Polri. Ini orang sudah ikut pendidikan, syarat tersebut ternyata bangkunya panjang sepanjang zaman, tetapi ada orang yang tidak memenuhi syarat justru lolos karena faktor kedekatan. Nah faktor kedekatan itu kadang kala disebut makelar jabatan.
Ini memang ada tetapi tidak menyeluruh, misalnya ada 10 kota, itu ada 1 dan 2 orang. Nah, komitmen Kapolri dalam pertemuan kemarin yang akan dilakukan, karena ini kan hampir terjadi di Polda, kalau di Mabes kan bagus. Contoh, dulu orang untuk menjadi Kapolres ditentukan semata-mata dari Mabes, sebelum jaman Pak Timur (Kapolri Jenderal Timur Pradopo). Sekarang kan tidak bisa, sekarang itu lewat usulan Kapolda, baru Mabes memilih itu.
Tapi yang menjadi masalah itu ada di tingkat Polda, ada jabatan Kapolsek, dan itu yang kadang-kadang yang tidak ikut prosedur Kapolri. Itu yang kita persoalkan.
Mengingat kasus ini bukan hal yang baru, lalu bagaimana penyelesaian terbaik?
Beri sanksi yang tegas. Boleh saja NKK, nolong kawan-kawan, tetapi kawan-kawannya tentu harus yang memenuhi kualifikasi, real, bukan orang pendongkrakan.
Tapi nyatanya kasusnya dikembalikan, apa perlu ini diselesaikan di Mabes Polri?
Saya kira Propam Mabes Polri perlu turun. Kemarin kita juga minta Propam untuk turun dalam rangka banyak hal untuk penguatan ini. Karena salah satu prasyarat agar polisi menjadi baik di mata publik. Karena itu Propam harus diberikan kekuatan, temuan-temuan Propam tidak boleh juga nanti di veto juga otoritas tertentu. Temuan propam ini yang harus jadi sandaran kebijakan. Jadi saya sudah usulkan dalam rangka promosi, mutasi dan demosi itu harus melibatkan catatan dari propam.
Propam kan sekarang terlibat karena dia ikut rapat Wanjak. Cuma menurut saya keputusan Propam itu harus menjadikan syarat dan acuan untuk itu.
Kasus kemarin menyebutkan akan ada transaksi Rp200 juta untuk menjadi seorang direktur di Polda Jawa Tengah, Apakah Komisi III DPR punya temuan terkait harga untuk sebuah kenaikan pangkat?
Ini kan tidak jelas rumornya, baik yang melapor juga belum jelas. Karena ini belum jelas itu tugas Propam kan untuk memperjelas. Kan isu saja ada yang ngomong Rp200 juta, sekian juta, tetapi tidak ada pengakuan seperti itu. Soalnya kan yang mau dan yang menerima, ini kan persoalannya baik penyuap dan yang disuap kompak tidak mau berbicara.
Karena itu Propam harus segera mengusut, kan ada tindakan hukum, yang paling berwenang Propam.
Apa perlu KPK menelusuri masalah seperti ini, mengingat ini merupakan kasus suap dan melibatkan aparat pemerintahan?
Apa urusannya KPK? Semuanya saja nanti kalau begitu. Sudahlah, KPK engga usah diurusin yang kecil-kecil, yang besar saja.
Senada dengan Ahmad Yani, Anggota Komisi III Fraksi Golkar Bambang Soesatyo juga memiliki pemikiran yang sama. Dia menyebut, kasus suap kenaikan jabatan seperti ini tidak hanya ada ditubuh kepolisian saja. Bahkan, kata dia, hal seperti ini nyaris nyata dan kebanyakan hanya tutup mata menghadapinya. Berikut adalah kutipan tanya jawabnya.
Soal makelar jabatan bukan hal yang baru di kepolisian maupun di lembaga lain. Itu persoalan yang biasa dilakukan dan memang seakan-seakan kita tutup mata. Nah, Tindakan Bareskrim, Wakapolri, internal Polri menangkap calo-calo ini. Kita perlu apresiasi dan seharusnya diikuti lembaga lain, TNI ada, Kementerian ada, dan semua yang terkait dengan penerimaan lowongan pekerjaan, kenaikan pangkat, pasti selalu ada, tidak hanya di Kepolisian.
Nah sekarang kita apresiasi, polisi sudah mulai membersihkan diri sendiri dan harusnya orang-orang mendukung.
Kasus ini bahkan berhenti, dengan alasan belum ditemukan tindak pidananya, tanggapan Abang?
Paling tidak polisi sudah bergerak, mengungkap adanya hal-hal negatif di tubuh Polri, terutama yang berkaitan dengan penempatan jabatan, atau kenaikan pangkat.
Biasanya gini, suap suap itu kan saling ngasih. Bukan hanya naik pngkat, sekolah (polisi) pun ada upaya-upaya pelicin. Ini antara kepentingan orang butuh naik pangkat-butuh sekolah, dengan orang yang punya kewenangan untuk itu.
Ini masalahnya kan tetap ada, tapi kok tetap tutup mata, solusi yang baik harusnya bagaimana?
Justru ini bagus, ini harus jadi shock theraphy bahwa praktek seperti ini ada di tubuh mereka. Dan sekarang mereka mulai melakukan penindakan, harapan kita ke depan adalah praktek ini tidak lagi ditoleransi karena memperburuk kualitas SDM, institusi tersebut dengan menempatkan orang-orang tanpa berdasarkan kualifikasi, kemampuannya, tapi nilai suapnya.
Apa karena ini juga yang membuat polisi memiliki mental preman?
Bukan di polisi, semua institusi kan begitu, pakai ilmu kodok, nendang ke bawah nyunjung ke atas.
Apakah ada temuan dari Komisi III soal suap-menyuap untuk kenaikan pangkat di Kepolisian?
Kita hanya mendengar rumor, misalnya sekolah sekian juta, naik pangkat sekian juta, pindah daerah sekian juta, tapi itu hanya dan kita belum bisa dapat bukti kongkret hanya mendengar saja.
Tapi saya meyakini, informasi itu tidak hanya di polisi tapi di semua institusi. Di kelurahan saja, kalau mau jadi kepala bagian nyogok juga. Semua penyakit itu ada di kita, maka harus dimulai pemberantasannya.
Adapun anggota Komisi III Fraksi PKS Fahri Hamzah mendesak agar kasus suap seperti ini diusut hingga tuntas. Dia berharap, citra Polisi tidak rusak akibat adanya isu ini.
Jelas saja, itu tindakan siapa, apa, clear-kan. Jangan sampai publik ini menganggap polisi menyembunyikan sesuatu, dibikin gelap.
Tapi nyatanya fenomena itu ada kan bang?
Kalau ada, polisi yang harus tahu dan itu yang harus dikejar hingga tuntas. Nggak boleh kita biarkan praktek seperti itu.
Masalahnya kasus ini dikembalikan, karena tidak ada indikasi pidana?
Ya itulah, polisi harus bisa menjelaskan sejelas-sejalsnya apa yang terjadi.
Kalau Komisi III sendiri ada temuan soal ini?
Saya nggak tahu, tapi rumor itu harus dijelaskan Kapolri.
sumber.okezone