JELAJAHPOS.COM, JAKARTA - Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 105 Tahun 2013 tidak mengubah, menambah atau mengurangi program yang sudah ada sekarang. Pejabat negara selama ini telah mendapat fasilitas berobat gratis melalui Askes golongan Very Very Important Person (VVIP). Fasilitas berobat gratis tersebut juga dinikmati istri dan dua orang anak.
Hal ini dikemukakan Wakil Ketua Komisi Keuangan DPR RI, Harry Azhar Azis kepada Tribun di Jakarta, Sabtu (28/12). Ia mengatakan, Presiden, Wakil Presiden dan menteri memiliki fasilitas lebih dan tidak terbatas.
"Hanya karena mulai 1 Januari 2014 Askes sudah tidak ada, jadi Perpres itu menjembatani perubahan dari Askes ke BPJS Kesehatan," katanya.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menandatangani Perpres Nomor 105 Tahun 2013 pada 16 Desember 2013 lalu. Dalam perpres tersebut, SBY memutuskan pemerintah memberikan pelayanan kesehatan paripurna melalui mekanisme asuransi kesehatan kepada Menteri dan Pejabat Tertentu.
Menteri dalam perpres ini adalah pimpinan kementerian dan pejabat yang diberi kedudukan atau hak keuangan dan fasilitas setingkat menteri. Adapun pejabat tertentu adalah pejabat yang memimpin lembaga pemerintah non-kementerian, pejabat eselon I, dan pejabat yang diberikan kedudukan atau hak keuangan dan fasilitas setingkat eselon I.
Selain mengeluarkan Perpres Nomor 105, SBY juga membuat Perpres Nomor 106 Tahun 2013 tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Pimpinan Lembaga Negara. Mereka ini meliputi ketua, wakil ketua dan anggota DPR-RI, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Yudisial (KY), Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), dan hakim agung Mahkamah Agung. .
Kedua perpres itu lahir setelah SBY mempertimbangkan risiko dan beban tugas menteri dan pejabat tertentu, serta ketua, wakil ketua dan anggota lembaga negara. Kedua produk aturan itu mencantumkan maksud dari pelayanan paripurna kesehatan kepada para pejabat negara, termasuk pelayanan kesehatan rumah sakit di luar negeri.
Biaya rumah sakit luar negeri para pejabat negara ini akan diganti oleh negara. Biaya itu akan masuk ke dalam anggaran pendapatan dan belanja negara, untuk para pejabat di level pusat.
Adapun untuk pejabat tertentu di lingkungan pemerintahan daerah dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan perpres ini akan diatur dengan peraturan menteri kesehatan dan peraturan menteri keuangan.
Skema pelayanan kesehatan untuk para pejabat negara berubah sejak Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) berlaku. Sebelumnya, dana layanan kesehatan masuk dalam fasilitas yang diterima pejabat. Di masa mendatang, pejabat mesti merelakan gaji dipotong demi pembayaran iuran atau premi kesehatan. Potongan gaji pejabat negara itu mencapai Rp 1,6 juta per bulan.
"Jangan salah, itu dipotong dari gajinya. Hanya rakyat miskin yang dibayar dari negara. Sedangkan yang lain itu kita bayarkan, pekerja juga sebagian dari gajinya, sebagian dari perusahaan," kata Hatta di kantornya, Jakarta, Jumat (27/12), seperti dikutip dari situs Setkab.
Senada dengan Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan, tunjangan kesehatan pejabat sudah memiliki dasar hukum sendiri dan dikelola Jasindo. Meski demikian, tahun depan fasilitas pejabat dan keluarganya itu akan masuk pula dalam BPJS.
"Tunjangan kesehatan pejabat itu lain, sudah ada dari dulu. Memang semua nanti akan mengacunya pada SJSN, tetapi itu providernya lain (bukan Askes)," kata Chatib.
Menteri Keuangan menjamin, dasar hukum pelaksanaan BPJS untuk semua masyarakat sudah siap, tak cuma pejabat. "Semuanya pasti ada, yang pejabat, masyarakat sudah pasti, sudah semua. Kan 1 Januari sudah jalan, bagimana kita bisa jalan, kalau aturannya belum ada," tegas Chatib.
Kementerian Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat menargetkan 176 juta jiwa atau 72 persen penduduk memperoleh manfaat BPJS di awal pendiriannya. Baru pada 1 Januari 2019, seluruh penduduk memiliki jaminan kesehatan universal.
Menko Kesra Agung Laksono menyebut, pemerintah memberi subsidi sebesar Rp 19.252 per bulan karena tidak semua masyarakat bekerja di sektor formal. Sedangkan untuk pekerja formal dengan gaji tetap, Politisi Partai Golkar itu mengemukakan skema iurannya maksimal 5 persen dari gaji.
Sampai 30 Juni 2015, 4,5 persen besaran iuran itu merupakan kewajiban pengusaha, dan 0,5 persen jadi tanggungan pegawai. Namun, setelah 1 Juli 2015, pekerja menanggung 1 persen. TRIBUNNEWS.COM